Jumat, 30 Mei 2008

Maka menulislah aku untuk scholae ku

Distimulasi oleh secangkir kafien malam ini,

setelah obrolan warung kopi bersama dua orang sobat,

setelah membaca catatan kehidupan seorang sentua yang sekarang sedang mendarat di Aceh tentang ”Secangkir Kopi dan Konservasi”,

setelah kemumetan otak bergelut membahasakan sebuah rajutan mimpi petani dan bumi ke bahasanya orang berambut jagung,

setelah perbincangan singkat di dunia ”bytes and bites” dengan seorang abang di ranah Medan yang selalu menantangku untuk belajar,

ya...setelah berjuta setelah yang lain.

Ruang ini kuperuntukan untuk ”sekolah” ku, Madanika. Untuk merekam pelajaran-pelajaran hidup yang kupetik selama bergiat dan bersantai di Madanika, refleksiku yang entah kabur, entah berkaca retak, entah mungkin semakin terang dan jelas. Juga sentuhan-sentuhan di pojok hati yang meneteskan air mata, baik yang keluar atau tertahan. Atau letupan-letupan kecil, suatu capaian, suatu pencerahan, suatu senyum dan banyak tawa yang kulewatkan bersama teman-teman, ”murid” dan ”guru” Madanika.

Dan beribu mimpi-mimpi yang kurajut, kulepas, kurajut lagi, kupindahkan ke kotak lain dan kujadikan di sekolah ini.

Sebuah buku ”Sekolah itu Candu” Roem Topatimasang memaknakan kembali apa itu ”sekolah”. Sekolah itu berasal dari sebuah kata Yunani ”Scholae”, artinya kegiatan yang dilakukan di waktu luang. Dulu ketika anak ditinggal orang tuanya bekerja, mereka menghabiskan waktu dengan bermain. Ketika ingin belajar sesuatu maka pergilah mereka ke orang yang bisa mengajarkan hal tersebut kepada mereka dan menghabiskan waktu dengan sang ”guru”nya itu. Mereka berguru ke petani di ladang ketika ingin belajar menumbuhkan bumi, mereka bermain dengan pengembala di padang rumput ketika ingin menguak bahasa hewan, mereka menjambangi nelayan di pantai ketika ingin membaca langit dan laut. Maka, jadilah petani, gembala, nelayan itu guru kehidupan dan anak-anak itu muridnya. Namun, ketika ada yang ingin memperkirakan gerak sentrifungal, datanglah orang-orang ke si anak yang bermain kelereng tanah liat di pojok kota. Pada saat yang lain ingin memaknai angin, bertadanglah orang-orang ke anak yang bermain layangan di lapangan terbuka itu. Maka, jadilah anak-anak itu guru dan orang-orang itu muridnya.

Itulah sekolah!!! Semua orang guru, semua orang murid, semua tempat sekolah.

Hmm...apakah itu mendetingkan bel di otak kecilmu? Ya...sekolah-sekolah yang ada sekarang, sekolah yang harus kita hadari sedari kecil sampai mungkin perguruan tinggi, apakah masih bisa disebut ”sekolah”? Segala beban belajar dan ujian, ijazah-ijazah bernilai sempurna yang harus dicapai, sekolah yang mengkerdilkan kreativitas dan daya jangkau pikiran yang tidak terbatas dalam deretan angka-angka di raport, belum lagi biaya sekian rupiah yang harus dibayarkan. Sekolah yang mungkin memakaikan kaca mata kuda pada bola mata kita. Hey, mata kita bulat bukan tanpa sebab, permukaan cembungnya mengajak kita melihat dunia dengan sudut yang luas, bukan hanya lurus ke depan.

Maka, kumaknai Madanika sebagai sekolahku. Sekolah yang membebaskan.

Maka menulislah aku untuk sekolahku yang tiba-tiba kemarin, 20 April 2008 lalu merayakan dasawarsa pertamanya, sedari aku menjejak ke dalamnya sewindu yang lalu.

0 komentar:

 
Copyright © 2008 Free Blogger Template By Cool Stuff Blog